Aceh yang menjadi salah satu provinsi di Indonesia mulai tanggal 7 Desember 1956, sangat kental dengan warna Islam. Aceh merupakan daerah pertama di Indonesia yang menerima syiar agama Islam. Pada abad 9 Masehi, di Aceh telah berdiri kerajaan Islam pertama, yaitu, Kerajaan Peureulak. Kerajaan ini sempat diserang oleh Sriwijaya pada tahun 986. Namun Sriwijaya kemudian menarik pasukannya pada tahun 1006 karena karena kerajaannya mendapat seranag dari Pulau Jawa.
Di abad 13 telah berdiri kerajaan Islam Pase dengan rajanya bernama Sultan Malek Saleh. Sultan Pase ini kemudian mengawini putri Sultan Peureulak. Selanjutnya kedua kerajaan tersebut bersatu dalam nama kerajaan baru, yaitu, Kerajaan Samudera Pasai. Sultan Malek Saleh menjadi raja pertama di kerajaan tersebut.
Aceh memasuki era perjuangan melawan kolonialisme ketika Portugis menaklukan Malaka pada tahun 1511. Pada tahun 1521, Portugis menyerang dan menaklukan Pasai. Namun kemudian pada tahun 1523, pertahanan Portugis di Pasai dihancurkan oleh kerajaan yang berkedudukan di daerah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh sekarang, yaitu, Kerajaan Aceh.
Pada tanggal 28 Maret 1873, Belanda melancarkan perang terhadap Aceh. Dalam peperangan tersebut pemimpin pasukan Belanda, Jenderal Kohler, tewas setelah sebelumnya dengan bantuan penunjuk jalan bangsa Cina Kho Tjian Gie, dapat menguasai Mesjid Raya. Setelah menguasai Mesjid tersebut, Jenderal Kohler terkena tembakan pasukan Aceh. Belanda akhirnya mundur ke Penang.
Perang mempertahankan wilayah kerajaan dari serbuan para imperialis terus dikobarkan rakyat Aceh. Mulai sekitar 1876 sampai 1903, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien memimpin perang Aceh. Perang Aceh merupakan perang kolonial dengan biaya paling besar bagi Belanda. Sedikitnya empat orang jenderal tewas dalam peperangan tersebut, yaitu, Jenderal Kohler, Jenderl Pel, Jenderal Demmeni, dan Jenderal De Moulin.
Memasuki awal abad 20, perjuangan kemerdekaan mulai dilakukan dengan jalan politik, disamping tetap dilakukan perjuangan bersenjata. Para pemuka Aceh ketika itu, baik hulubalang ataupun para ulama mulai terbawa arus Kebangkitan Nasional.Gerakan Syarikat Islam yang didirikan Haji Oemar Said Tjokroaminoto di Surabaya tahun 1912 dengan cepat berkembang di Aceh. Setelah kegiatan Syarikat Islam dilarang oleh Belanda, para ulama Aceh membentuk organisasi perjuangan baru yang bernama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Sejak saat itu, perjuangan rakyat Aceh, termasuk yang terkait dengan pergerakan politik nasional dikoordinasikan melalui PUSA. Begitu pula saat Aceh melakukan perlawanan terhadap Jepang, PUSA adalah pihak yang pertama kali memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang.
Di abad 13 telah berdiri kerajaan Islam Pase dengan rajanya bernama Sultan Malek Saleh. Sultan Pase ini kemudian mengawini putri Sultan Peureulak. Selanjutnya kedua kerajaan tersebut bersatu dalam nama kerajaan baru, yaitu, Kerajaan Samudera Pasai. Sultan Malek Saleh menjadi raja pertama di kerajaan tersebut.
Aceh memasuki era perjuangan melawan kolonialisme ketika Portugis menaklukan Malaka pada tahun 1511. Pada tahun 1521, Portugis menyerang dan menaklukan Pasai. Namun kemudian pada tahun 1523, pertahanan Portugis di Pasai dihancurkan oleh kerajaan yang berkedudukan di daerah Aceh Besar dan Kota Banda Aceh sekarang, yaitu, Kerajaan Aceh.
Pada tanggal 28 Maret 1873, Belanda melancarkan perang terhadap Aceh. Dalam peperangan tersebut pemimpin pasukan Belanda, Jenderal Kohler, tewas setelah sebelumnya dengan bantuan penunjuk jalan bangsa Cina Kho Tjian Gie, dapat menguasai Mesjid Raya. Setelah menguasai Mesjid tersebut, Jenderal Kohler terkena tembakan pasukan Aceh. Belanda akhirnya mundur ke Penang.
Perang mempertahankan wilayah kerajaan dari serbuan para imperialis terus dikobarkan rakyat Aceh. Mulai sekitar 1876 sampai 1903, Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien memimpin perang Aceh. Perang Aceh merupakan perang kolonial dengan biaya paling besar bagi Belanda. Sedikitnya empat orang jenderal tewas dalam peperangan tersebut, yaitu, Jenderal Kohler, Jenderl Pel, Jenderal Demmeni, dan Jenderal De Moulin.
Memasuki awal abad 20, perjuangan kemerdekaan mulai dilakukan dengan jalan politik, disamping tetap dilakukan perjuangan bersenjata. Para pemuka Aceh ketika itu, baik hulubalang ataupun para ulama mulai terbawa arus Kebangkitan Nasional.Gerakan Syarikat Islam yang didirikan Haji Oemar Said Tjokroaminoto di Surabaya tahun 1912 dengan cepat berkembang di Aceh. Setelah kegiatan Syarikat Islam dilarang oleh Belanda, para ulama Aceh membentuk organisasi perjuangan baru yang bernama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Sejak saat itu, perjuangan rakyat Aceh, termasuk yang terkait dengan pergerakan politik nasional dikoordinasikan melalui PUSA. Begitu pula saat Aceh melakukan perlawanan terhadap Jepang, PUSA adalah pihak yang pertama kali memutuskan untuk melakukan perlawanan terhadap Jepang.
Berita Prolamasi Kemerdekaan RI sampai ke Aceh tanggal 21 Agustus 1945. Tokoh-tokoh Aceh, termasuk residen daerah Aceh ketika itu, Teuku Nyak Arief, langsung melakukan perundingan dengan pihak Jepang untuk pelaksanaan penyerahan kekuasaan. Setelah mendapat jaminan keselamatan, tentara Jepang bersedia bekerjasama untuk serah terima kekuasaan tersebut. Selanjutnya rakyat Aceh membentuk berbagai perangkat pemerintahan daerah, termasuk pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah yang diketuai Tuanku Mahmud.
Di era perjuangan mempertahankan kemerdekaan, rakyat Aceh tercatat sebagai pendukung pemerintahan Republik Indonesia yang baru terbentuk. Salah satu buktinya adalah sumbangan mereka berupa pesawat Dakota. Pesawat sumbangan rakyat Aceh yang diberi nama RI-001 Seulawah ini merupakan pesawat pertama yang dimiliki RI.
Aceh juga memberi perannya yang penting bagi usaha mempertahankan eksistensi pemerintah RI. Pada saat Belanda menyerang ibukota RI yang ketika itu bertempat di Yogyakarta dan menawan presiden Soekarno dan wakil presiden Mohammad Hatta, Mr. Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu sedang berada di Bukittinggi ditugaskan membentuk Pemerintah Darurat RI (PDRI). Kedudukan PDRI kemudian dipindah ke Banda Aceh, yang ketika itu bernama Kutaraja. Tidak hanya pemerintahan yang dipindah ke Aceh, militer pun sempat bermarkas di Aceh, yaitu angkatan laut dan angkatan udara. Dari Aceh pula disiarkan pesan-pesan PDRI ke perwakilan RI di luar negeri. Pesan dari siaran tersebut sampai ke perwakilan RI di PBB. Pendek kata Aceh telah memberikan perannya yang penting dalam rangka mempertahankan kemerdekaan yang ketika itu baru saja diraih. Maka tidak salah apabila presiden Soekarno pernah menyebut Aceh sebagai "Daerah Modal".
Pada tahun 1961, ketika presiden Soekarno mengeluarkan amnesti nasional, seluruh pemberontak di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh kembali kepangkuan RI. Keadaan semakin kondusif setelah berlangsung musyawarah kerukunan Rakyat Aceh yang kesimpulannya antara lain semua pihak bersepakat mengakhiri segala bentuk perbedaan dan pertentangan baik antara sesama masyarakat Aceh maupun dengan pemerintah pusat. Setelah peristiwa tersebut, Aceh menjadi relatif tenang dan pemerintah dapat melakukan pembangunan.
Tahun 1974 merupakan awal dari perubahan wajah daerah Aceh dari daerah pertanian menjadi daerah penghasil gas alam cair terbesar di dunia. Pasalnya adalah di kawasan Arun Aceh Utara, ditemukan sumber gas alam. Penemuan itu ditindaklanjuti dengan pembangunan pabrik pengolahan gas alam ini. Pada tahun 1978, pabrik gas alam cair yang bernama PT Arun NGL ini, melakukan ekspor perdananya. Mulai saat itu, Aceh menjadi penghasil gas alam cair terkemuka didunia dan salah satu penyumbang devisa terbesar untuk negara.
Pada akhir tahuan 1976 di Aceh mulai tumbuh benih-benih kehendak memisahkan diri. Dengan digerakkan oleh seorang tokoh setempat, yaitu, Hasan Tiro, berdiri Gerakan Aceh Merdeka. Gerakan itu sempat mati suri, namun kemudian muncul kembali tahun 1989 dengan digerakan oleh tokoh yang sama, yaitu Hasan Tiro dengan kekuatan cenderung membesar. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, benih-benih ini memisahkan diri ini dapat diselesaikan dengan jalan damai. Saat ini rakyat Aceh relatif dapat merasakan kedamaian dan keadilan.
Pada akhir tahuan 1976 di Aceh mulai tumbuh benih-benih kehendak memisahkan diri. Dengan digerakkan oleh seorang tokoh setempat, yaitu, Hasan Tiro, berdiri Gerakan Aceh Merdeka. Gerakan itu sempat mati suri, namun kemudian muncul kembali tahun 1989 dengan digerakan oleh tokoh yang sama, yaitu Hasan Tiro dengan kekuatan cenderung membesar. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, benih-benih ini memisahkan diri ini dapat diselesaikan dengan jalan damai. Saat ini rakyat Aceh relatif dapat merasakan kedamaian dan keadilan.